Jumat, 29 Mei 2009

Ketulusan sang Guru

Hidup, takselamanya bisa memilih. Itulah yang dirasakan Pak Mahmud, seorang guru,bahkan kini menjadi kepala sekolah salah satu sekolah agama diCengkareng, Jakarta Barat. Ia seperti hidup di antara dua dunia yangsangat berbeda,menjadi guru di satu saat, dan karena alasan ekonomi menjadi pemulung sampah di saat lain.Inilah potret nyata kehidupan guru di tanah air.Matahari perlahan mulai menampakan sinarnya, dan pagi kembali datang.Akupun kembali membuka lembaran hidup dari gubukku yang sederhana ini.Namaku Mahmud. seperti hari-hari sebelumnya, di pagi buta, aku sudahmelangkahkan kaki pergi mengajar di sekolah Madrasah SanawiyahSafinatul Husnah, tak jauh dari tempatku tinggalku di Jalan BambuLarangan RT 03 RW 05 Cengkareng Barat, Jakarta Barat, jadi aku cukupberjalan kaki untuk ke sana.Sudah 32 tahun aku menekuni profesi ini,persisnya sejak aku berusia 14 tahun. Ya, sejak muda, aku memangbercita-cita menjadi guru, profesi yang pekerjaannya sangat muliamenurutku. Apalagi kini aku dipercaya menjadi kepala sekolah. Akusenang, pengabdianku telah berbuah manis.Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah, apalagi menjadi kepala sekolah.Tanggungjawabnya sangat besar, tak hanya harus mampu menjadi teladantapi juga harus menyiapkan bekal mutu dan moral bagi murid-murid kami,generasi penerus bangsa ini. Karena itu hampir setiap upacara sekolah,saat menjadi inspektur upacara, aku coba tanamkan nilai-nilai luhur itu.Meski menjadi kepala sekolah, aku tetap mengajar, matematika dan ppkn,pendidikan pancasila dan kewarganegaraan. jujur, Ada dua alasan mengapaaku tetap melakukannya. Pertama karena aku memang senang mengajar. Akujuga tak ingin ilmu matematika yang kudapat dari Sekolah TinggiKeguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta menjadi tak terpakai. Dan kedua,karena alasan ekonomi. Aku masih membutuhkannya sebagai sumbertambahan. imageMenjadi guru, sekali lagi, memang sangat berat, setidaknya sampai saatini. Penghasilan yang didapatkan, sangat tak sebanding dengan karyakami untuk bangsa ini. Tapi aku, dan juga mereka yang telah memilihpekerjaan ini tak boleh mundur. Ada tanggung jawab besar di pundak kami.Berkumpul dengan keluarga adalah saat terindah dalam hidupku. Bersamamereka aku bisa melupakan semua persoalan yang membebaniku, terutamasetiap kali melihat senyum di wajah Jumiati, isteriku. Maklum, sudahdua tahun terakhir ini dia sakit-sakitan, dan aku terus memikirkannya.Sebagai kepala rumah tangga, beban di pundakku sebenarnya sangat berat.Ibarat bangunan, aku tak ubahnya seperti tiang yang harus berdirikokoh, jika tak ingin seluruh bangunan roboh. Bukan maksudku berkeluhkesah, tapi penghasilanku sebagai guru, meski kini telah menjadi kepalasekolah, sangatlah kecil. Aku buka saja, penghasilanku dari sekolahsekitar 500 ribu rupiah. Bisa apa dengan uang itu dengan hargakebutuhan yang terus naik sekarang ini. Belum lagi aku harus membiayaisekolah anak-anakku.Itulah sebabnya, di luar profesi guru, diam-diam aku menjadi pemulung,mengais rezeki di antara tumpukan sampah di belakang rumahku. Saatmenjadi pemulung, yang terbayang hanya wajah anak isteriku. Merekamembutuhkan kehidupan dariku. Rasa lelah, lapar, coba aku singkirkan.Tak ada gunanya pula aku mengeluh, karena inilah jalan hidupku.Hasilnya juga lumayan buat memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga.Aku sadar, keputusanku ini tidak semua menyukainya, terutama darimereka yang merasa pekerjaan ini tak pantas dilakukan seorang gurusepertiku. Bahkan tak jarang aku menerima cibiran. Mereka seperti takmau mengerti, isteriku sudah dua tahun menderita sakit kanker otak, danaku belum juga mampu membiayai operasi untuknya.Jumiati, isteri, adalah segalanya bagiku. Tak mampu kugambarkanbagaimana besar artinya dia buatku. 22 tahun ia dengan setiamendampingiku, tak ada bandingan, walau kini ia sedang tak berdayakarena sakit yang ia derita.Sejak isteri divonis menderita kanker otak dua tahun lalu, fikirankumemang tak tenang. Permintaan beberapa murid untuk diajar les tambahan,terpaksa tak bisa dipenuhi, aku tak bisa konsentrasi, Jumiati begituberarti buat kami. Selagi sempat aku selalu ingin berada dekatnya,menikmati kebersamaan dengannya. Aku tak sanggup membayangkankehilangan dia.Begitupun dengan ketiga anakku, mereka bak matahariku, sumberkekuatanku, karena mereka pula aku ikhlas menjalani kerasnya hidup ini.Si sulung, Hidayatul Aulia, telah lulus SMA, aku terharu ketika iamemutuskan tak kuliah, memberi jalan buat kedua adiknya meneruskansekolahnya.Yang kedua Ridwan Abimanyu, saat ini sedang kuliah di Universitas IslamNegeri Syarif Hidayatullah jurusan perbandingan agama, aku sangatbangga melihat semangat belajarnya. Lalu si bungsu Mirma Yunita, barumasuk pesantren dekat rumahku. Aku ingin kehidupan mereka kelak, lebihbaik dari kami orang tuanya.Lingkungan tempat tinggal kami, sebenarnya tidak mendukung. Kotor dantak baik buat kesehatan, paling tidak itulah yang kami sekeluargarasakan. Tak hanya isteriku yang sakit, ketiga anakkupun sebenarnyamengalami gangguan kesehatan. Tapi kami memang tak punya pilihan. imageHidup ini memang sebuah perjalanan, penuh liku dan terjal. Andai sajaaku punya pilihan, ingin rasanya aku pindah ke lingkungan yang lebihbaik. Kadang aku seperti berkhayal, membayangkan kehidupan yang lebihbaik. Tinggal di lingkungan yang bersih, memiliki rumah yang memadai.Dan, ah..sudahlah, aku sudah melupakan impianku diangkat menjadipegawai negeri, walau kadang obsesi itu masih saja kerap melintas dibenakku.Kini semua kupasrahkan kepada Tuhan. Bagiku, Tuhan telah berbuat yangterbaik untukku. Walau begitu, aku kerap mengadukan semua keluh kesahkukepadanya, aku menemukan kedamaian saat merasa dekat dengannya.Sumber :http://pakzam. blogguru. net